Thursday, February 22, 2007

MEREDAKAN TUBUH DARI INGATAN

Dua belas jam aku menyetubuhi komputer tanpa kata sedikitpun. Kutandaskan kenangan untuk menziarahi lekuk-lekuknya. Alur misteri yang bercecabang untuk diikuti. Begitu misteri untuk digairahi. Seperti genangan sungai yang panjang. Juga keindahan pantai yang mengalun dari kejauhan. Desahan bumi yang menggetar pelan mengusik dengan enggan. Desahan mesin yang meronta untuk disudahi. Juga desahan kata yang menjejal untuk berloncatan. Satu persatu mengalun, hinggap di tiang-tiang, di sudut mata, di pangkal tubuhmu. Dua belas jam aku menyelami kata dan lagi. Mengeram bersama dengan penuh kesadaran. Dengan penuh ucap yang bergantian seksama. Desakan dari tanganku meronta pada lantai yang menggemuruh. Juga pada genangan hujan yang semakin meninggi. Aku seperti berenang bersama pohon, binatang. Akar-akar yang panjang terkelupas dan terhanyut dihempasnya. Dua belas jam aku meredakan tubuhku dari ingatan.

Bandar Lampung. 2007

DIA TETAP INGIN TIDUR

Jam malam disebuah lab yang berserakan botol-botol. Buku puisi sengaja diselipkan. Sisa teh celup tersangkut di kantung mata. Speaker sedang tidak nyala, keheningan ini jangan sampai terganggu. Dia ingin tidur seperti beruang satu musim. Tapi itu bukan perumpamaan yang cocok kuutarakan, bukankah disini udara begitu hangat. Aih, air perlahan meluap. Juga hujan datang dengan menghapus panas yang panjang. Dia tetap ingin tidur.

Bandar Lampung. 2007

PADA SIAPAPUN

Pada pantai aku titipkan sisa ban yang menemani kemarin. Pada pasir-pasir kuhempas sisa laut yang mulai mengering di sekujur. Pada matahari kutatap perlahan sebelum ditelan.

Pada tatapan John Lennon yang bersemayam di blogmu. Seperti penolakan pada wajib militer. Aku teringat pada lagu Imagine. Terus kutatap seperti pada hujan yang kuhempaskan bersama keengganan menyudahi. Kalau saja berlarian dalam tarian hujan itu.

Kopi gula, tapi entah kenapa ada pisau bersemayam disitu. Ujungnya yang lancip seperti tertawa. Pada bis kota di sela jedanya menawarkan pisau diarahkan pada mukaku, muka penumpang disampingku, semua penumpang. Harga sembako naik lagi katanya. Seperti berlari dengan motor 2 tak. Di kota besar sudah tidak diperbolehkan jalan, seperti juga merokok yang bersembunyi diranah privasi.

INGIN SAJA

Aku tidak pesan keributan. Apalagi kejatuhan pesawat, kapal atau angkutan lainnya. Aku ingin menulis, seperti mencintaimu.

BERHENTI DI PAGI

Katanya pagi itu akan ke pasar

Kutitip kenangan

Ikan berenang di bak yang telah disediakan

Sekarang sedang panen hujan

Dalam lingkaran donat. Kita mengeja sebuah kecemasan baru. Kecemasan yang sekarat. Dibalut dengan dekat dan berharap. Seperti kisah petualang ke pulau tak berpenghuni.

Teh loncat dari punggungku. Kemudian berlari dan bersembunyi dalam botol-botol. Di dalamnya bergambar sepasang calon kepala daerah.

Hujan berlarian pelan. Di halaman yang berjatuhan spanduk.

Kami terus berteriak di sudut jam yang sudah muntah. Hujan masih saja membentak jalan yang sedang kami perbaiki.

Seperti hujan dan kapal yang sedah pecah. Dengan sayap yang setengah patah terjatuh di landasan.

Dikepalaku sedang tumbuh burger, donat dan cocacola. Aku lari dan ....

Berhentikah di pagi

Monday, February 12, 2007

BANJIR BERKEJARAN DI RUMAH

O kau mulai mengunci rak di dalam hati kemarin pagi bersama tebing
Runcing kaki hujan menanam poster di dalam kulkas
Batu mencair di dalam bibir O
Kau pagi-pagi mencuri dengar dari televisi yang telah bapak sembunyikan di lemari
Berlari-lari dikejar mesin cuci
Segera tuntaskan pakaian kotormu dengan perut yang lunas
O kau yang mulai menanam pohon listrik di depan
O kau yang mulai menanam ledeng di bawah rumah
Banjir berkejaran di rumah
Melumat

Bandar Lampung. 2007

PINTU MULUTKU DIDOBRAK

Pintu rumahku diketuk
Katanya dari televisi
Dan mengunci pintu dengan rapat
Kukira penagih hutang dengan membawa deterjen di matanya
Telah berbusa dan berteriak dengan penat
Disuruhnya aku melumat televisi itu
Dengan bangkai anjing yang telah disediakan dari tangannya
Pintu mulutku didobrak
Telah kutelan televisi dengan paksa
Hadiah darimu sambil begoyang

Bandar Lampung. 2007

SINYAL GELOMBANG TIDAK MENYAMPAIKAN PESANNYA

Mengukir batu dalam kepalan ikan
Berenang bersama antena yang telah salah pesan
Sinyal gelombang tidak menyampaikan pesannya
Tersangkut
Dan minum teh bersamaku di luar hujan
Angin ribut bertalu
Bersama bosan menyalakan lampu
Angin kabur begitu saja
Membawa pesanmu yang lama tersangkut
Antena muram


Bandar Lampung. 2007

SEPERTI HUJAN YANG ENGGAN BERHENTI DI DALAM TELEVISI

Seperti radio yang jatuh dan batere berhamburan di selangkangan
Ditelan bah kejenuhan pada gelombang yang memucat erat
Suaranya berpadu dengan air seperti silikon yang berlembah
Dikendalikan dari jauh dengan kotak yang malu-malu
Karena buah-buahan ditutup dengan kelambu
Ingin tidur di pelukan badai
Seperti hujan yang enggan berhenti di dalam televisi


Bandar Lampung. 2007

TANPA TELANJANG

Tanpa telanjang dalam kamus berpita merah
Beku kata mengusap monitor yang berteriak
Hujan pergi naik delman dengan tenang
Tanpa telanjang menelusuri kotak ensiklopedi
Banjir menghantam dari kepala yang botak
Tanpa telanjang bajuku berserakan

Bandar Lampung. 2007

WAKTU TIDAK JUGA IKUT LUPA MENARUH DIRINYA

Makalah menyusun dirinya sendiri pada kertas yang berserakan di meja
Tentang skripsi yang tak jadi-jadi
Kapan selesai oleh para kurcaci yang menyelinap masuk
Di kaki-kaki mungilnya yang mengendap tertatih
Makalah yang telah tersusun itu hanyut bersama televisi
Di acaranya yang terus saja muntah tak berkesudahan
Aku ingin memeluk kurcaci itu sekaligus televisi
Seperti jam yang lupa ditaruh dimana
Waktu tidak juga ikut lupa menaruh dirinya
Makalah terus saja menguras kepalaku


Bandar Lampung. 2007

HUJAN MENGENCINGI BAJUKU

Hujan mengencingi bajuku
Kemarin aspal melumuri mulutku
Pohon menabrak mobil yang melaju kencang
Dia sendirian menutup matanya dengan tangan
Angin berkejaran tanpa memakai baju hangat
Air di panci mulai sekarat
Hujan mengencingi lagi
Aku marah pada batu
Seragam dilepaskan pada sungai
Aku umpat lemari dan televisi
Sikring menari-nari di kepalaku
Bersama hujan yang terus kencing


Bandar Lampung. 2007

FOTO TELANJANG MULAI MERASUK

Jam berapa sinetron kesayangan
Mengeram di televisi yang setengah mabuk
O aku lupa tayangan kemarin
Di lemari yang tersembunyi
Kabarkan kerinduan pada episode selanjutnya
Selingan iklan mencabiki kegemasan yang berkarat
Seperti karat pada tiang listrik di samping got
Yang telah digambari dengan kata warna-warni
Seperti hari ini yang mewarnai sinetron
Teka-teki seakan hadir dan bergentayangan
Foto telanjang mulai merasuk


Bandar Lampung. 2007

NENEK TERSENYUM DENGAN MUKA PUTIH

Dikepalanya masih menyisa coklat yang butirannya tertinggal di televisi
Kupukul dengan linggis yang padat dengan runcing di setiap ujungnya
Meneriakkan keluhan palsu dengan muka yang setengah basah
Hujan lupa pada jemuran sedang malam tertawa dibawah bantal
Iseng mengompoli baju nenek yang semakin keriput di bawah kelambu rahasianya
Anggrek kuping gajah beberapa mulai besembunyi di sudut rumah
Enggan untuk disayati oleh gunting yang menjelma tanganku
Luka pun menggeliati pada sayatan lama di tubuh
Nenek tersenyum dengan muka putih
Hujan di sana


Bandar Lampung. 2007

RUMPUT MULAI MENGUBUR DIRIKU

Kepala di televisi jatuh bersama raup tanah di mata telinga dan kaki
Lalu pasar sebrang jalan menarik wortel, jamur, kentang bersama hujan
Beras menumbuk di dalam mata yang selalu basah
Seperti juga aspal mulai meleleh di sepotong kue
Aku lupa menaruh bawang, wafer, dan obat sakit gigi
Terjatuh ke dalam keyboard
Tekan tekan jurang
Bersemayam bersama meja belajar
Yang menyekap bertahun
Mengendap bersama lampu plastik
Membakar sebentar pematik sembunyi dalam jari
Kurasa bunga-bunga mencekam
Dan mulai mencekram mulutku dengan sisa desahan
Rumput mulai mengubur diriku


Bandar Lampung. 2007