Monday, September 04, 2006

Wartawan “Lompat Pagar”

Wahyu Heriyadi
Aktivis Bengkel Jurnalisme


Wartawan Merupakan Profesi yang menjadi salah satu pilar dalam demokrasi. Keberadaan wartawan menjadi disegani dalam kancah politik seni maupun budaya. Keberadaan dan kondisi masyarakat terkini dilaporkan dan disebarkan oleh media yang menjadi naungannya. Tentunya hasil reportase tersebut dibaca dan diapresiasi oleh khalayak.

Tugas dan beban berat tersebut diembannya, kode etik, aturan dan standar jurnalistik menjadi pedoman dalam kinerjanya. Sebuah perpaduan beban yang berat, ditambah lagi dengan kedekatan terhadap narasumber membuat kemudahan untuk menghasilkan suatu liputan. Pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan ini membuat kedekatan-kedekatan dengan pihak yang berprofesi lain yang lebih mapan. Seperti misalnya politisi atau pengusaha.

Maka ketika seorang wartawan memiliki profesi ganda, yaitu wartawan sekaligus politisi atau wartawan sekaligus pengusaha, maka kredibilitas dan kinerjanya akan dipertanyakan. Kita bisa melihat apabila wartawan itu sekaligus salah satu calon penting di sebuah partai politik, maka media yang diikuti kemungkinan besar dijadikan alat untuk menunggangi kepentingan politik yang dikehendakinya.

Begitu pula dengan wartawan yang sekaligus pengusaha lain di bidang jurnalistik, bisa jadi fokus profesinya akan terpencar dan kinerjanya bercabang-cabang. Hingga output dari reportase dicampur aduk dengan kepentingan usahanya. Atau profesi lain-lainnya. Juga ketika profesi wartawan itu ditinggalkan demi sebuah karier yang lebih baik atau materi yang lebih mapan.

Seperti kita ketahui banyak praktisi wartawan yang dengan santainya mencapakkan baju kewartawanannya untuk menjadi PNS, Politisi, atau profesi lainnya. Apakah karena profesi wartawan di Indonesia, khususnya di Lampung tidak menjanjikan masa depan yang baik sehingga hanya dijadikan batu loncatan untuk menuju profesi yang “dianggap lebih baik dan mapan” dan akhirnya lompat pagar.

(TOR diskusi Bengkel Jurnalisme)

Thursday, July 20, 2006

Rencana INDS

Kami akan membuat sebuah lembaga kajian dan penelitian. rencananya bernama Institut for National Democratic Studies (INDS). Beberapa program yang menarik, seperti kajian demokrasi, ekonomi politik, dsb. rencana akan mengadakan focus group discution (fgd) sebulan sekali dan menerbitkan jurnal setiap 6 bulan sekali. saya kira untuk bandar lamoung, lembaga penelitian diluar kampus masih jarang.

Tuesday, March 21, 2006

Tanpa Otak

Tanpa Otak

Otak dalam tubuhnya keluar
dan tidak dapat digunakan lagi untuk berpikir dengan jelas,
menghitung angka-angka pasti,
apalagi mengeluarkan kata bijak seperti filsuf besar.

Dengan tanpa otak di kepalanya !

Sebelum pergi meninggalkan semuanya yang ada
dia tak berkir terlebih dahulu,
karena otaknya telah dicungkil
dan dibuangnya jauh.

Kota yang menganggapnya mencungkil otak
dan meninggalkan jauh-jauh di sebuah keramain
tak seorang pun tahu. Ketika tak ada seorang pun, esoknya diributkan oleh tergeletaknya otak yang ditinggalkan.

Semua orang berpikir, tak dapat berpikir lagi dengan benar.

dipublikasikan di milis apresiasi-sastra

menghilang di gerbang cahaya

menghilang di gerbang cahaya

Dia menyertakan dirinya sebagai tanda pengabdian dan penyerahan secara sadar. Dia, adalah seorang yang selalu diharapkan orang orang, telah larut dalam gegap gempita isi dunia yang tidak bersahabat. Menyudahi kesehariaan yang memanjang, dan, lambat terdengar sederet bunyi kepasrahan. Pasrah akan penyerahan diri, pada saat yang telah ditentukan.

Saat itu, ketika malam tak pernah berujung, kunjung tiba di ufuk penglihatan. Terlihat penampakan seorang yang datang dari kegelapan tak bercahaya, mendekat dengan langkah yang tak teratur, lambat laun, agak cepat, berjalan serong kiri serong kanan seperti seorang yang telah kehilangan keseimbangan. Namun, tidak, bukan itu. Raganya berjalan, namun jiwanyta melayang layang mengikuti arah kegelapan malam.

Menuju ke arah tak pasti, dimana setiap cahaya yang dicari tak pernah kunjung, karena memang, malam tak pernah berakhir. Selalu saja kegelapan itu meraba. Pada siapa saja, bahkan yang telah mengenalnya lama, tetap saja tak ada pengingkaran, selalu saja. Malam tak pernah berakhir.

Dan ketika menuju lorong lorong yang semakin pekat, tak ada yang mengikuti karena malam telah membutakan pandangan.

Hendak kemana kau wahai perindu yang selalu berjalan?

Aku hendak mencari setitik cahaya untuk melepaskan dahaga pengetahuan yang tak tersudahi akibat ketidak tahuan akan acahaya itu.

Bukankah selalu saja tak seorang yang menginginkan cahaya, karena berbahaya bagi siapapun. Tak ada yang beranjak dari kursi cahaya itu, selain mereka yang muncul dan akhirnya menghilang di cahaya yang terang, dan tak seorangpun menjumpainya lagi. Sadarlah, lebih baik kau urungkan niatmu, tak ada apa apa dalam pencarian cahaya, karena hanya akan menemui hal yang tak berkesudahan, nikmatilah malam ini, nikmatilah kegelapan ini, untukmu, untuk kita semua.

Tidak, aku akan menuju cahaya itu, dan menyeretnya kemari agar semua menikmati cahaya itui, aku, kau, juga semuanya. Akan menikmati cahaya yang kubawakan. Pasti.

Jangan, akan terjadi sebuah perubahan sosial, dimana tak pernah ada yang menikmati cahaya, dan ketika kau bawakan cahaya itu, tapi sepertinya tidak mungkin, namun meski kau bawa cahaya itu kemari dan menerangi semuanya. Akan terjadi sesuatu, entahlah, namun yang pasti akan terjadi sesuatu, camkanlah itu.

Dan ketika malam jaddah itu ingin diakhirinya dengan memaksa masuk kearah cahaya yang lambat laun semakin dekat, disongsongnya dengan berlari. Tak memperdulikan lagi, dimana terus disongsongnya setitik cahaya itu yang semakin didekati semakin besar. Ada bebarapa kendala ketika berjalan menuju cahaya itu, beberapa kali tersandung, namun tak diperdulikannya semua itu, demi menuju sebuah cahaya.

Dan dia menghilang di gerbang cahaya yang orang orang disini tak pernah berani untuk pergi kesana.

dipulikasikan di milis bumi manusia