Wahyu Heriyadi
Aktivis Bengkel Jurnalisme
Wartawan Merupakan Profesi yang menjadi salah satu pilar dalam demokrasi. Keberadaan wartawan menjadi disegani dalam kancah politik seni maupun budaya. Keberadaan dan kondisi masyarakat terkini dilaporkan dan disebarkan oleh media yang menjadi naungannya. Tentunya hasil reportase tersebut dibaca dan diapresiasi oleh khalayak.
Tugas dan beban berat tersebut diembannya, kode etik, aturan dan standar jurnalistik menjadi pedoman dalam kinerjanya. Sebuah perpaduan beban yang berat, ditambah lagi dengan kedekatan terhadap narasumber membuat kemudahan untuk menghasilkan suatu liputan. Pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan ini membuat kedekatan-kedekatan dengan pihak yang berprofesi lain yang lebih mapan. Seperti misalnya politisi atau pengusaha.
Maka ketika seorang wartawan memiliki profesi ganda, yaitu wartawan sekaligus politisi atau wartawan sekaligus pengusaha, maka kredibilitas dan kinerjanya akan dipertanyakan. Kita bisa melihat apabila wartawan itu sekaligus salah satu calon penting di sebuah partai politik, maka media yang diikuti kemungkinan besar dijadikan alat untuk menunggangi kepentingan politik yang dikehendakinya.
Begitu pula dengan wartawan yang sekaligus pengusaha lain di bidang jurnalistik, bisa jadi fokus profesinya akan terpencar dan kinerjanya bercabang-cabang. Hingga output dari reportase dicampur aduk dengan kepentingan usahanya. Atau profesi lain-lainnya. Juga ketika profesi wartawan itu ditinggalkan demi sebuah karier yang lebih baik atau materi yang lebih mapan.
Seperti kita ketahui banyak praktisi wartawan yang dengan santainya mencapakkan baju kewartawanannya untuk menjadi PNS, Politisi, atau profesi lainnya. Apakah karena profesi wartawan di Indonesia, khususnya di Lampung tidak menjanjikan masa depan yang baik sehingga hanya dijadikan batu loncatan untuk menuju profesi yang “dianggap lebih baik dan mapan” dan akhirnya lompat pagar.
(TOR diskusi Bengkel Jurnalisme)